Kehadiran Karampuang yang cenderung matrealistik diawali pada sebuah peristiwa besar yakni dengan munculnya seseorang yang tidak dikenal dan dikenal sebagai To Manurung. To Manurung ini muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai, berawal di Karampuang. Dahulu daerah ini adalah merupakan wilayah lautan sehingga yang muncul layaknya tempurung yang tersembul di permukaan air. Di puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata Karampulue tadi akhirnya berubah menjadi Karampuang. Penamaan selanjutnya adalah perpaduan antara karaeng dan puang akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara orang-orang Gowa yang bergelar Karaeng dan orang-orang Bone yang bergelar Puang. Setelah Manurung Karampulue diangkat oleh warga untuk menjadi Raja, maka dia memimpin warga untuk membuka lahan-lahan baru. Tak lama kemudian dia mengumpulkan warganya dan berpesan, eloka tuo, tea mate, eloka madeceng, tea maja ; ungkapan ini adalah suatu pesan yang mengisyaratkan kepada warga pendukungnya untuk tetap melestarikan segala tradisinya. Setelah berpesan maka dia tiba-tiba lenyap. Tak lama kemudian terjadi peristiwa besar yakni dengan hadirnya tujuh to Manurung baru yang awalnya muncul cahaya terang di atas busa-busa air. Setelah warga mendatangi busa-busa itu, maka telah muncul tujuh to Manurung tadi dan diangkat sebagai pemimpin baru. Pemimpin yang diangkat adalah seorang perempuan sedangkan saudara laki-lakinya diperintahkan untuk menjadi raja di tempat lain dan menjadi to Manurung – to Manurung baru. Dalam Lontara dikatakan, “laocimbolona, monrocapengna”. Pada saat melepaskan saudara-saudaranya, dia berpesan, ”nonnono makkale lembang, numaloppo kuallinrungi, numatanre kuaccinaungi, makello kuakkelori, ualai lisu.” (Turunlah ke daratan datar, namun kesabaranmu kelak harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak turut menaungi leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu adalah atas kehendakku juga, kalau tidak, maka kebesaranmu akan aku ambil kembali) Akhirnya mereka menjadi Raja di Ellung Mangenre, Bonglangi, Bontona Carua, Carimba, Lante Amuru dan Tassese. Dalam perjalanannya, masing-masing diamanahkan untuk membentuk dua gella. Dengan demikian, maka terciptalah 12 gella baru, yakni Bulu, Biccu, Salohe, Tanete, Maroanging, Anakarung, Munte, Siung, Sulewatang Bulo, Sulewatang Salohe, Satengnga, Pangepena Satengna. Setelah saudaranya telah menjadi raja, saudara tertuanya yang tinggal di Karampuang pun lenyap dan meninggalkan sebuah benda. Kelak benda inilah yang dijadikan sebagai arajang dan sampai saat ini disimpan di rumah adat. Sedangkan untuk menghormati To Manurung tertua ini, maka rumah adatnya, semuanya dilambangkan dengan simbol perempuan. Kawasan Adat Karampuang merupakan sebuah perkampungan adat yang banyak memiliki tinggalan budaya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Rumah Adat Karampuang
Bangunan cagar budaya ini tepat berada di zona utama Kawasan Adat Karampuang, Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo,Kabupaten Sinjai.Pada sekitar bangunan tumbuh berbagai macam pepohonan seperti pohon kelapa, pohon jeruk balidan berbagai semak-semak. Pada sekitar bangunan juga terdapat bongkahan-bongkahan batu besar yang mengelilingi bangunan. Karena tidak tertutup oleh pepohonan, pada siang hari bangunan ini memperoleh pencahayaan sinar matahari yang cukup banyak. Bangunan ini terdiri atas dua buah bangunan yaitu Rumah Adat Gella dan Rumah Adat To Matoa. Kedua bangunan Rumah Adat Karampuang ini memiliki ukuran yang tidak jauh berbeda yakni kurang lebih 15 x 11 meter. Perbedaanya terletak pada simbol kekuasannya yakni atap yang bersusun dua pada rumah To Matoa sedangkan rumah Gella tidak bersusun. Perbedaan lainnya adalah pada timpa laja yang bersusun tiga pada rumah To Matoa dan bersusun dua pada rumah Gella.Terdapat 30 (tiga puluh) tiang utama berukuran ±238 cm dan 10 (sepuluh) tiang tambahan dengan ukuran ±190 cm. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu dan lantai rumah terbuat dari anyaman bambu dan rotan. Pada rumah adat ini ditemukan pula ukiran-ukiran yang berbentuk bulan sabit, spiral dan zig-zag dan bulan bintang. Terdapat pula ukiran lafaz Allah dan Muhammad. Rumah Adat Karampuang sebagai rumah kembar (meski sedikit berjauhan), memiliki banyak simbol dan banyak fungsi di kalangan pendukungnya. Sebagai sebuah rumah adat tentunya memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan rumah warga lainnya. Perbedaan ini tentu saja bukan secara kebetulan saja tetapi melalui proses yang panjang dengan nilai-nilai simbolik yang dikandungnya. Kalau pada kebanyakan rumah adat di Sulawesi Selatan, penempatan tangga sebagai sarana vital untuk naik turunnya penghuni rumah serta para tamu selalu ditempatkan di depan rumah, apakah membujur searah panjang rumah seperti pada kebanyakan rumah-rumah Makassar atau menyamping searah dengan lebar rumah seperti pada rumah-rumah Bugis, namun pada Rumah Adat Karampuang justru diletakkan di tengah-tengah rumah. Sebagai rumah adat dengan simbol wanita, maka penempatan tangga ini adalah makna simbolik sebagai (maaf) kemaluan wanita, tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu. Tangga ini mempunyai pintu yang disebut dengan batu lappa dengan pemberat dari batu yang bundar dan juga simbol bagian dari kemaluan wanita. Karena posisi pintu dengan lantai rumah maka untuk membukanya haruslah menolak ke atas untuk mengeser pemberat batu tersebut. Pintu ini berfungsi pula untuk mengakhiri perkara yang diajukan oleh warga. Dalam hal penempatan dapur, posisi belakang rumah adalah hal yang samgat lazim kecuali pada Rumah Adat Kajang yang menempatkannya di depan pintu sebagai simbol dari keterbukaan kepada tamunya. Tetapi pada Rumah Adat Karampuang, posisi dapur diletakkan sejajar dengan posisi pintu yang memiliki simbol sebagai buah dada wanita, sumber kehidupan. Sebagai sumber kehidupan manusia, maka pada dapur inilah dipersiapkan segala makanan yang hendak dimakan di rumah adat. Karena simbol buah dada wanita, maka jumlahnya juga ada dua buah sesuai dengan jumlah buah dada wanita. Sebagai seorang wanita tentu salah satu pembeda dengan pria adalah pada telinganya yang berhias. Untuk itu maka telinganya dirancang khusus dan disebut dengan bate-bate kiri dan bate-bate kanan dengan hiasan ukiran kayu yang bermakna anting-anting, layaknya seorang wanita yang anggun, lengan dan bahu digambarkan dengan sonrong yakni tangga yang ditinggikan diletakkan di depan rumah dan belakang rumah yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu agung di bagian depan serta sonrong belakang difungsikan sebagai tempat tinggal penghuni. Karena sebagai tangan yang senantiasa bertindak maka pada sonrong belakang rumah ditempatkan semua arajang yakni benda sakral pelengkap upacara adat. Simbol wanita yang lain adalah adanya hilua yakni tali hitam dari serat enau dan dililitkan di bubungan rumah serta bahan untuk rimpa laja. Untuk bahan lainnya, rumah adat ini hanya menggunakan bahan yang sangat alami dan sederhana yaitu bambu. Penggunaan bambu sebagai bahan lantai ialah karena dalam Lontarak yang mereka pegang mengatakan bahwa tulang-tulang rusuk serta ruas jari manusia disebut dengan buku lapa tellang. Olehnya itu, maka bahan dasar dari lantainya adalah tellang yakni bambu yang berukuran kecil dan memiliki kekuatan yang cukup baik untuk bahan lantai. Sebagai bahan pengikat digunakan tanpeng yakni sejenis rotan yang untuk mencarinya di hutan adat harus dipimpin langsung oleh tomatoa megingat tampeng itu sendiri banyak jenis. Tampeng dalam lontarak adalah simbol dari urat atau ure. Fungsi tampeng ini tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk paku sekalipun. Untuk merangkai bilahan-bilahan bambu menjadi salima membutuhkan teknik dan ukuran tersendiri yaitu dengan memasang berdasarkan urutan-urutan petak yang berjumlah dua belas petak lantai. Jumlah ini adalah sebagai simbol dari banyaknya gella-gella yang merupakan pendukung utama budaya karampuang. Simbol-simbol dari jumlah dua belas pada lantai ialah karena pada saat keenam saudara pria dari pemimpin wanita Karampuang hendak menempati Cimbo-cimbo masing-masing membentuk dua gella, dengan demikian maka terdapat nilai simbolik bagi seluruh pendukung budaya Karampuang untuk tetap mendapat tempat dan tetap merupakan bagian dari kebesaran Karampuang.
Gua Cucukang
Situs ini terletak di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, dekat dari Rumah Adat Karampuang. Di sekitar situs ini tumbuh berbagai vegetasi seperti tumbuhan liar, semak belukar, dan pepohonan seperti pohon aren. Pada dinding-dinding gua terlihat lembab dan ditumbuhi lumut. Situs ini berada di daerah perbukitan di tengah hutan. Akses untuk menuju situs ini cukup terjal, dari Dusun Karampuang dibutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit berjalan kaki menuruni bukit. Situs ini berupa gua, terdapat dua buah temuan yaitu sebuah batu yang terdapat goresan dan pada dinding gua terdapat goresan. Goresan tersebut berupa gambar, piring, perahu, parang, manusia kangkang, dan lain sebagainya. Kondisi situs kurang terawat dengan bukti adanya lumut pada situs ini. Di situs ini ditemukan sebuah batu, di mana di bagian batu tersebut terdapat goresan. Panjang Batu ± 200 cm dan lebar ±100 cm. Pada batu ini kita dapat melihat berbagai goresan seperti goresan piring, goresan garis-garis, setengah lingkaran, dan goresan yang tidak jelas. Goresan pada batu ini hampir menutupi seluruh bagian atas batu. Pada dinding gua sebelah kanan pintu masuk situs ditemukan pula goresan yang hampir sama pada goresan batu berupa goresan parang, perahu, manusia kangkang dan berbagai garis-garis abstrak. Pada dinding Gua Cucukang terdapat goresan gambar manusia dengan posisi tangan menengadah ke atas seperti berdoa, kaki mengangkang, dan kepala bulat. Di atasnya terdapat segitiga terbalik yang melambangkan kekuatan langit.
Batu Jong (Gong)
Pada situs ini terdapat jalan setapak dengan bebatuan yang disusun sebagai pembatas.Situs ini beralaskan bebatuan yang berlumut dan disekitarnya banyak daun-daun kering yang berserakan. Di situs ini ditemukan sebuah bongkahan batu yang berbentuk menyerupai segitiga, panjang ketiga sisinya ± 50cm. Permukaan batu ini hampir tertutupi lumut, dan membetuk lingkaran-lingkaran berwarna putih akibat proses pelapukan, yang mengakibatkan adanya lubang-lubang pada batu. Menurut informan, batu ini dulunya digunakan pada saat pesta adat seperti pesta panen dengan cara dipukul dan menghasilkan bunyi seperti Gong. Selain itu batu ini dipercaya memiliki kekuatan gaib.
Batu Ragae
Temuan ini berada pada area perbukitan. Di sekitar situs tumbuh berbagai pepohonan, dan semak belukar. Dari ketinggian bukit tempat situs berada kita bisa melihat hamparan sawah, hutan, dan wilayah perbukitan Kabupaten Sinjai dengan cukup jelas. Situs ini merupakan dua bongkahan batu besar yang berada pada suatu puncak bukit di Karampuang dengan jarak antar batu ini ±10 m. Menurut informan, batu-batu ini dikeramatkan dan dijadikan sebagai sarana upacara adat. Upacara adat yang dilakukan pada situs ini berupa upacara perayaan panen hasil pertanian sekaligus untuk mengenang kematian nenek moyangmasyarakat Karampuang. Kedua batu ini sama-sama diselimuti oleh akar dan ranting-ranting pepohonan.Menurut informan, batu pertama hanya terletak pada bukit tempat situs ini berada dan berukuran ± 15 m. Batu kedua tertancap hingga ke dalam bukit dan berukuran ± 13 m. Menurut informan batu ragae ini awalnya merupakan sarana upacara adat yang dilakukan setelah upacara pemukulan batu pada situs Batu Jong. Namun sekarang, batu ragae digunakan sebagai tempat meminta izin leluhur untuk mengadakan pesta dengan membawa sesajian yang diletakkan diatas batu. Ritual adat dilakukan oleh To Matoa, Sanro dan Gella.
Batu Temu Gelang
Situs ini terletak di puncak bukit Karampuang.Di sekitar situs terdapat banyak pepohonan,rumput-rumput dan semak belukar serta terdapat bebatuan yang berlumut. Dari ketinggian bukit tempat situs berada kita bisa melihat hamparan sawah, hutan, dan wilayah perbukitan Kabupaten Sinjai yang luas dengan cukup jelas. Pada situs ini tersebar hamparan batu yang digunakan sebagai pijakan. Situs ini berupa tumpukan-tumpukan batu yang tersusun membentuk persegi panjang mengelilingi sebuah pohon.Di situs ini terdapat dua tinggalan, yang pertama berupa pagar dan yang kedua berupa tiga lubang bekas rumah. Menurut informan situs ini dulunya merupakan tempat turunnya To Manurung di Karampuang.Untuk memasuki situs ini, diharuskan untuk membuka alas kaki.Disitus ini terdapat sebuah pagar yang berbentuk persegi panjang yang disusun dengan menggunakan batu, dengan ukuran tinggi ± 80cm dan tebalnya ± 70cm. Menurut informan pagar-pagar ini dulunya berfungsi sebagai dasar atau pagar rumah To Manurung. Terdapat pula tiga lubang bekas rumah To Manurung, yang berdiameter ±20cm dan jarak antar lubang ±85cm. Namun, sekarang sudah tidak dapat lagi dilihat wujud bangunannya, hanya struktur yang terlihat pada situs ini.Situs ini sekarang digunakan sebagai tempat melepaskan hajat dengan membawa sesajen seperti sapi, ayam, kambing dan lain-lain.Hingga saat ini, lokasi tersebut masih disakralkan dan dijadikan tempat melakukan serangkaian seremoni pada saat acara-acara berlangsung di Karampuang.
Kompleks Perkuburan
Situs ini terletak di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai.Situs ini berada di tengah-tengah hutan. Pada sekitar situs tumbuh berbagai tanaman seperti rumput-rumput liar dan pepohonan. Permukaan tanah pada sekitar situs cukup rata. Situs ini berupa kompleks penguburan massal dengan beberapa makam didalamnya. Ukuran Nisan pada makam ini berbeda-beda. Jarak antara kuburan satu dengan yang lainnya sekitar 1-2 m. Situs ini tidak memiliki tembok atau pembatas, hanya saja dikelilingi oleh pohon-pohon, rerumputan dan semak belukar. Sejarah singkat tentang situs menurut informan yaitu terdapat makam La Batara Guru, orang yang pertama kali menyebarkan Agama Islam di Karampuang.
Destinasi budaya Lainnya
Terdapat banyak destinasi budaya yang wajib dikunjungi di Sulawesi Selatan